Politik Jokowi dan Gibran
Politik Jokowi dan Gibran

Politik Indonesia kembali diwarnai dinamika yang melibatkan Presiden ke-7 Joko Widodo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Isu ijazah palsu, wacana pemakzulan, hingga pertarungan narasi di ruang publik membuat posisi keduanya menjadi sorotan utama.

Jokowi sendiri sempat melontarkan pernyataan tentang adanya 'agenda besar' dan 'orang-orang tertentu' yang disebut berada di balik isu yang menyerangnya. Menurut pakar komunikasi politik, Prof. Gun Gun Herianto, langkah Jokowi ini merupakan strategi equivocal communication—yakni komunikasi dengan makna simbolik untuk menggeser fokus publik dari isu ijazah palsu menuju narasi yang lebih luas. Prof. Gun Gun menjelaskan, strategi ini juga berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri. Dengan menciptakan ketidakpastian, Jokowi seolah mengalihkan perhatian publik sekaligus mengirim pesan politik kepada lingkaran elit.

Sementara itu, Mas Kirdi Putra, pakar mikro-ekspresi, menilai gestur Jokowi dalam berbagai kesempatan menunjukkan upaya membangun jembatan emosi antara isu pribadi, seperti dugaan ijazah palsu, dengan isu politik yang lebih besar, termasuk rencana pemakzulan Gibran. Isu ini pun melebar ke ranah politik parlemen. Wacana pemakzulan Gibran dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk delegitimasi politik. Prof. Gun Gun menegaskan, pemakzulan belum tentu berakhir pada jatuhnya jabatan, namun bisa menjadi strategi melemahkan citra Gibran—dan secara langsung juga menekan Jokowi.

Pertarungan narasi semakin kompleks dengan hadirnya berbagai kelompok relawan dan partai politik yang memainkan peran. Jokowi masih memiliki basis politik melalui relawan, sementara Gibran dianggap sebagai tokoh muda dengan masa depan politik jangka panjang.

Namun di tengah hiruk pikuk isu, para pakar mengingatkan pentingnya literasi politik publik. Banyak isu substansial, seperti tambang, lingkungan, dan kebocoran anggaran, justru tenggelam oleh narasi ijazah palsu dan pemakzulan. Media pun diingatkan agar bijak dalam meranking isu sehingga tidak terjebak pada wacana pinggiran.

Pertarungan politik Jokowi dan Gibran belum berakhir. Dinamika ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal legitimasi, narasi, dan perebutan kekuasaan menuju 2029. Publik kini menanti: apakah keduanya akan mampu bertahan menghadapi badai politik, atau justru terjebak dalam pusaran konflik yang semakin liar?

Sumber : https://youtu.be/C449r5iLLmk?si=E-TFN-quUvdImq25