Diskusi Panel Nasional Bahas Sertifikasi Da’i di Era Post-Truth
Isu sertifikasi dan standarisasi da’i di tengah derasnya arus informasi digital menjadi fokus utama dalam Diskusi Panel Nasional bertajuk “Post-Truth Era: Sertifikasi dan Standarisasi Da’i di Tengah Kemajemukan Bangsa” yang diselenggarakan secara daring melalui Zoom pada Sabtu malam (13/12/2025). Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi Forum Komunikasi Mahasiswa Manajemen Dakwah (FKM MD) bersama FSLDK Bandung Raya, Lembaga Dakwah Mahasiswa (LDM) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Keluarga Mahasiswa Darut Tauhid (GAMADA), serta komunitas Sejarah Present.
Diskusi panel ini menghadirkan pemateri dari berbagai latar belakang organisasi dan akademik, yakni Achmad Zaenuri (Ketua Umum LDM UIN Bandung 2024–2025), Al Kahfi, S.Sos (Mahasiswa Magister Manajemen Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), M. Aufa Alfaiz, S.Ag (Pengurus Keluarga Mahasiswa Darut Tauhid/GAMADA), serta Adi Wijaya, S.Ag (Pengurus FSLDK Bandung Raya 2024–2026). Kegiatan dipandu oleh Ananda Aditya R., S.Sos, selaku Pj Forum Komunikasi Mahasiswa Manajemen Dakwah se-Indonesia.
Dalam pengantarnya, Ananda Aditya menegaskan bahwa forum diskusi ini dirancang sebagai ruang akademik untuk mempertemukan mahasiswa dakwah lintas kampus dalam membahas tantangan dan masa depan dakwah Indonesia. Ia menilai penguatan literasi dakwah dan peningkatan kualitas da’i menjadi kebutuhan mendesak di tengah perubahan sosial dan perkembangan teknologi informasi. Pada sesi pemaparan materi, para narasumber membahas hakikat dan definisi sertifikasi serta standarisasi da’i sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas profesi dakwah. Sertifikasi dipahami bukan sekadar formalitas administratif, melainkan instrumen strategis untuk memastikan da’i memiliki kompetensi keilmuan, etika, dan tanggung jawab sosial dalam menyampaikan pesan keagamaan.
Pada sesi pemaparan, para narasumber mengulas berbagai tantangan dakwah di era post-truth, yang ditandai oleh masifnya informasi digital, melemahnya otoritas keagamaan tradisional, serta meningkatnya peran media sosial dalam membentuk persepsi publik. Salah satu isu sentral yang mengemuka adalah urgensi sertifikasi dan standarisasi da’i sebagai upaya menjaga kualitas, etika, dan tanggung jawab dakwah di tengah masyarakat yang majemuk.
Al Kahfi, S.Sos, mahasiswa Magister Manajemen Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyoroti perkembangan dakwah digital yang sangat pesat namun tidak selalu diiringi dengan standar kompetensi yang memadai. Menurutnya, keberadaan da’i yang tidak tersertifikasi di ruang digital berpotensi menimbulkan berbagai dampak sosial, seperti penyampaian pesan keagamaan yang parsial, kurang sensitif terhadap konteks kebinekaan, hingga memicu kesalahpahaman di tengah masyarakat. Ia menegaskan bahwa sertifikasi da’i seharusnya dipahami sebagai instrumen penguatan kualitas dan profesionalitas dakwah, bukan sebagai pembatasan kebebasan berdakwah. Lebih lanjut, ia juga mengemukakan pentingnya pengembangan model sertifikasi da’i yang bersifat kontekstual, adaptif, dan selaras dengan nilai-nilai kearifan lokal, agar dakwah tetap relevan, membumi, dan sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia.
Achmad Zaenuri menekankan bahwa dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural secara sosial, budaya, dan agama, kualitas da’i menjadi faktor penting dalam menjaga harmoni sosial. Menurutnya, pemahaman terhadap keberagaman tersebut harus menjadi landasan utama urgensi sertifikasi dan standarisasi da’i agar dakwah tidak disalahgunakan untuk kepentingan sempit. Sementara itu, M. Aufa Alfaiz, S.Ag mengulas urgensi sertifikasi da’i dalam masyarakat majemuk sebagai upaya mencegah penyalahgunaan mimbar dakwah, meminimalkan ujaran kebencian, serta memperkuat kredibilitas da’i di ruang publik. Ia juga menekankan pentingnya kompetensi inti da’i yang meliputi penguasaan materi keislaman, etika dakwah, dan kemampuan sosial-kultural. Dalam perspektif kelembagaan, Adi Wijaya, S.Ag menyoroti perlunya standarisasi kompetensi da’i sebagai mekanisme kontrol kualitas dakwah di era digital. Menurutnya, sertifikasi dapat berfungsi sebagai instrumen filterisasi konten dakwah agar tetap selaras dengan nilai moderasi beragama dan mampu menjaga keharmonisan masyarakat.
Diskusi panel berlangsung secara interaktif selama kurang lebih tiga jam, mulai pukul 19.30 hingga 22.30 WIB, dengan diikuti peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Antusiasme peserta terlihat dari aktifnya sesi diskusi dan tanya jawab yang membahas isu sertifikasi da’i, kompetensi dakwah, serta tantangan dakwah di tengah kemajemukan bangsa.
Melalui kegiatan kolaboratif ini, para penyelenggara berharap diskusi mengenai sertifikasi dan standarisasi da’i dapat mendorong lahirnya kajian akademik lanjutan, penguatan kapasitas da’i muda, serta sinergi antar lembaga dakwah kampus dalam membangun dakwah Islam yang moderat, inklusif, dan relevan dengan perkembangan zaman.

