Prodi Kessos Gelar Seminar Nasional ”Meninjau Implementasi UU TPKS Sebagai Tonggak Hukum Penanganan Kekerasan Seksual di Indonesia dalam Berbagai Perspektif” 2022
UIN Jakarta, Rabu 19 Oktober 2022 Prodi Kessos FDIKOM UIN Jakarta menyelenggarakan seminar nasional dalam rangkaian acara Pekan Raya Kesejahteraan Sosial (PERAK) 2022. Permasalahan kasus korban kekerasan seksual di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut data dari kementerian PPPA Pada tahun 2019, jumlah anak korban kekerasan seksual mencapai 6.454, kemudian meningkat menjadi 6.980 di tahun 2020. Selanjutnya dari tahun 2020 ke tahun 2021 terjadi peningkatan sebesar 25,07 persen menjadi 8.730. beberapa korban kekerasan seksual bahkan tidak berani untuk melaporkan yang menimpa pada dirinya dengan berbagai alasan, seperti takut, malu, merasa ini aib, dan bahkan mendapatkan stigma di masyarakat.
Seminar Nasional diawali oleh keynote speech dan sekaligus membuka seminar nasional oleh Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta Suparto, M.Ed, Ph.D. Ada beberapa point yang disampaikan oleh Dekan Fdikom Isu mengenai Kekerasan Seksual merupakan salah satu perilaku kebinatangan manusia yang berasal dari tradisi manusia purba. Hukum yang mengatur tentang kekerasan seksual muncul karena norma agama tidak diindahkan oleh manusia, etika manusia yang rendah dan aktivitas seks menjadi liar. Tujuan dari hukum itu sendiri adalah memanusiakan manusia. Salah satu hukum yang diatur adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU - TPKS). Sebelum adanya Undang-Undang No 12 Tahun 2022, peraturan yang mengatur tentang Penganggulangan Kekerasan Seksual adalah Permendikbud No 22 Tahun 2015. Selain itu, Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi memiliki banyak kontroversi. Hal ini disebabkan karena dalam peraturannya menyebutkan "Tanpa Persetujuan Korban", "Peraba Menyentuh Alat Kelamin Tanpa Persetujuan Korban" yang terkesan memojokkan korban.
Dalam keputusan menteri No 73 tahun 2022 yang membahas mengenai Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Kementrian Agama. Di dalam peraturannya membahas tentang kekerasan seksual yang bersifat verbal seperti lelucon, menatap (korban tidak senang, merasa terintimidasi). Suparto juga mengatakan bahwa budaya UIN tidak terlepas dari budaya nilai-nilai agama Islam. Seorang penyair berkata "Sesungguhnya suatu bangsa akan berdiri kokoh apabila berpegang teguh pada moralitas keagamaannya. Begitupun, apabila bangsa tidak berpegang teguh pada moralitas agama, maka tidak akan berdiri kokoh."
“Kesejahteraan Sosial UIN Jakarta memiliki konseling yang dapat menjadi tempat mahasiswa mengutarakan permasalahan individu akademik ataupun non-akademik. Solusi yang akan diberikan juga berasal dari sisi psikologis maupun vokasi.” ujarnya.
Ismet Firdaus–Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial–bertugas memandu jalannya seminar. Ratna Batara Munti, sebagai Pemateri 1 memaparkan materinya selama kurang lebih 30 menit. Ia menyampaikan pentingnya kehadiran UU TPKS. UU TPKS hadir disaat KUHP sangat minimalis dalam pembahasannya, yakni tentang kesusilaan. Hal ini yang membedakan dengan UU TPKS yang tidak hanya berfokus pada korban, namun juga pelaku. Perbedaan ini muncul karena adanya integritas tubuh atau martabat dari korban yang dilecehkan. Selain itu, ia juga menyampaikan materi tentang terobosan-terobosan baru dalam UU TPKS, serta tantangan implementasi dalam tindak kekerasan seksual.
Selanjutnya, Robert B. Triana, sebagai pemateri 2 memaparkan materinya pada pukul 10.16 WIB. Ia mengatakan bahwa orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi sebagai pelindung, tetapi kenyataannya sekarang bisa menjadi pelaku. UU Kekerasan Seksual sebagai tonggak hukum dalam menangani, melindungi, dan memulihkan korban. Korban kekerasan seksual berhak untuk meminta ganti rugi yang dibayar oleh pelakunya yaitu termasuk hak korban atas suatu yang telah diterimanya.
Korban kekerasan seksual berhak untuk didampingi, dan pendamping bisa ditujukan kepada pekerja sosial. Pendamping berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum selama korban dan saksi di setiap tingkat pemeriksaan. Korban berhak mendapatkan restitusi berupa ganti rugi yang semacamnya. Ia juga memaparkan peran pekerja sosial dalam mendampingi korban, yaitu bisa berupa assessment, membuat rekomendasi, rujukan penanganan kasus sesuai dengan kebutuhan korban, rehabilitasi sosial, mengajak masyarakat agar berpartisipasi dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual melalui kegiatan program ketahanan keluarga, menjadi bagian dalam proses penanganan kasus sejak kepolisian hingga terminasi. Pada dasar tertentu juga membutuhkan advokasi monitoring proses rehabilitasi, monitoring pasca rehab, reintegrasi keluarga dan masyarakat. (HMPSKS)


