
Salah satu dampak yang diakibatkan oleh munculnya media baru adalah perubahan nilai-nilai dan praktik keagamaan. Media baru dengan berbagai platformnya telah mengubah pandangan mereka tentang norma-norma dan praktik agama yang cenderung dipandang sebagai sesuatu yang bersifat doktriner. Namun, jagat media baru adalah jagat virtual dimana berbagai macam hal dikostruksi sedemikian rupa, baik oleh pengguna maupun oleh media itu sendiri.
Tema inilah yang menjadi perbicangan dalam kegiatan Guest Lecture Series II bertajuk “Agama di Era Media Baru” yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister (S2) Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dengan menghadirkan dua narasumber yakni; Dr. Robby H. Abror, M.Hum (Dosen Filsafat Media UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) dan Dr. Moch Fakhruroji (Dosen Kajian Agama dan Media UIN Sunan Gunung Djati, Bandung) (8/4/2022). Keduanya mengulas tentang bagaimana media tidak hanya telah berkontribusi pada munculnya nilai-nilai baru, tetapi juga praktik-praktik baru keagamaan.
Sebagai sebuah ikhtiar akademik, Ketua Prodi Magister (S2) KPI, Dr. Tantan Hermansah berharap kegiatan ini dapat memperkaya kemampuan dan kepekaan mahasiswa dalam menangkap gejala-gejala baru, khususnya terkait perubahan pandangan dan praktik keagamaan di era media baru. Selain itu, pengayaan tools yang sifatnya metodologis sangat diperlukan bagi para calon magister KPI.
Dalam pemaparannya, Robby mengungkapkan tentang adanya pergeseran nilai akibat maraknya media sosial sehingga memberikan tantangan tersendiri bagi para agamawan dan peneliti agama. “Di era sekarang ini, kita menuju pada situasi dimana eksistensi kita di media sosial dipandang lebih penting ketimbang di kehidupan nyata. Hal ini tentu saja berhubungan dengan derajat otentisitas perilaku pengguna media sosial. Apakah media sosial itu benar-benar refleksi atas perilaku keagamaa mereka? Atau hanya rekaan?” demikian ungkap Robby ketika menguraikan beberapa realitas baru praktik keagamaan di media sosial.
Sementara itu, Fakhruroji memberikan catatan bahwa kelahiran sejumlah praktik dan ekspresi keagamaan di media sosial memang boleh jadi tidak sepenuhnya otentik. Namun dalam konteks kajian media sosial, yang menjadi fokus tidak lagi soal otentik atau tidak, tetapi soal eksistensi yang membuktikan pengguna sebagai bagian dari jejaring yang tidak lagi diukur dengan ukuran-ukuran yang sebelumnya. “Tidak hanya itu, media sosial menyediakan semacam lahan dimana setiap orang dapat membangun otoritasnya sendiri, termasuk agama. Hal ini menjadi salah satu tantangan yang serius bagi tokoh atau institusi keagamaan,” tambahnya.